Sebuah permenungan singkat.... 
Tinggal di Indonesia, di mana mayoritas warga negaranya beragama berbeda dari kita, sering kali kita mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan juga memaparkan apa yang menjadi kebenaran yg kita anut. Mulai dari aspek kehidupan sehari-hari, hingga tatanan aspek teologi yang lebih rumit seperti iman Trinitas, dan lain- lain. 

Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati aspek teologi orang lain beserta kewajiban dan hak yang mereka miliki dalam memeluk agama, melakukan suatu kegiatan, dalam kaidah-kaidah norma tertentu baik agama maupun sosial kemasyarakatan.  Perbedaan aspek teologi (dlm hal ini iman), sebenarnya bukan hambatan bagi seseorang untuk dapat menghormati keputusan orang lain dalam beragama dan menjalankan ibadat atau melakukan keputusan tertentu yang menyangkut nilai sosial. 

Pertanyaan yang seringkali dihadapi bagi umat Katolik adalah : BAGAIMANA KITA MENUNJUKKAN TOLERANSI TETAPI MASIH MEMEGANG TEGUH IDENTITAS KATOLIK ? 

Pertama-tama yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa pilihan agama, adalah hak asasi semua manusia. Tentu saja, pilihan tersebut akan memiliki konsekuensi dalam bentuk ibadat dan juga pola pikir dalam mengambil suatu keputusan mengingat agama merupakan ‘pegangan hidup’ dan ajaran agama sering kali turut ambil bagian dalam pembentukan pola pikir seseorang. Maka dalam hal ini bertoleransi bukan berarti mengurangi atau menghilangkan atau menggeser esensi iman atau ajaran Gereja Katolik pada khususnya. Bertoleransi dalam hal ini menghormati pilihan orang lain dalam beragama lain, bukan berarti memiliki anggapan semua agama itu sama. Mengapa ? Pola pemikiran yang terakhir (yakni, yang menganggap semua agama sama) akan menyebabkan kita selanjutnya terjatuh pada esensi bahwa memang ada nilai2 luhur yang sama, yang akhirnya dapat berujung pada pola pikir bahwa manusia tidak perlu beragama karena yang diperlukan hanyalah berbuat baik. 

Ada nas yang mengatakan iman tanpa perbuatan adalah mati. Ini adalah benar. Tetapi perbuatan tanpa iman, adalah sia-sia belaka. Manusia dapat memiliki kemampuan untuk berbuat baik semata-mata karena rahmat Allah di dalamnya. Tanpa rahmat Allah tersebut, manusia tidak akan dapat melakukan perbuatan baik. 

Pola pemikiran bahwa perbuatan baik saja cukup, merupakan emosi sesaat. Emosi ini timbul karena banyak faktor, entah karena keluarga, teman dekat, dan ataupun faktor lainnya. Bagaimanapun kita sebagai manusia akan selalu terlibat dalam emosi, namun emosi sesaat bisa menyebabkan seseorang memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan apa yang telah diketahuinya selama ini sehingga menyebabkan ia jatuh ke dalam sebuah dosa ataupun kesalahan baik fatal ataupun tidak. 

Dalam hal ini hendak ditegaskan bahwa toleransi adalah sikap menghormati pribadi dan juga mengasihi pribadi dengan aturan hukum Gereja Katolik “Hate the sin, love the sinners” (membenci dosanya, mengasihi pendosanya), bukan berarti membuat kesepakatan dengan mencari jalan tengah yang malah menimbulkan suatu pemikiran apatis terhadap ajaran agama dan juga malah menjerumuskan seseorang ke dalam kesalahan berpikir yang lebih fatal.